Ketika Harus Menghukum Anak

03 Juni 2008

Oleh : Mohammad Fauzil Adhim (Mifta-Perjuangan)
Inilah riwayat Bukhari. Husain, cucu Nabi yang masih kecil ketika itu, mengambil sebiji kurma sedekah. Ia masukkan ke dalam mulutnya. Begitu mengetahui, Nabi Saw. segera mengeluarkan kurma itu dari mulut cucunya.
Haram bagi keluarga Nabi makan sedekah. Karenanya, Nabi Saw. segera bertindak agar tak ada harta haram yang tertelan oleh cucunya.
Kisah yang diriwayatkan oleh Bukhari ini mengajarkan kepada kita ttg beberapa hal. Di dalamnya ada pelajaran tentang kehati-hatian dalam memakan harta agar tak terjatuh dalam dosa dan syubhat. Di dalamnya ada pelajaran ttg tarbiyah; seorang anak perlu belajar menjauhi yang haram meskipun perbuatan mereka belum dihisab, sehingga tak ada dosa bagi mereka. Di dalamnya juga terdapat contoh tentang ketegasan. Nabi adalah orang yang paling sayang kepada anak -anak dan cucunya. Tetapi besarnya kasih-sayang, tidak menghalangi Nabi Saw. untuk menunjukkan ketegasannya.
Kisah tentang kurma ini hanyalah satu di antara sekian banyak hadist yg menceritakan kepada kita tentang bagaimana Nabi Saw mendidik anak. Sepanjang yg mampu saya pahami, ada perbedaan cara dalam menyikapi perilaku anak.
Nabi Saw. melarang orangtua memarahi anak yang memecahkan piring karena segala sesuatu ada batas umurnya, termasuk piring. Nabi Saw. juga pernah menegur sahabat yang melarang anak kecil bermain pasir. Ketika Ummu Al-Fadhl merenggut anaknya secara kasar karena pipis di dada Nabi Saw, dgn tegas beliau menegur, "Pakaian yg kotor ini dapat dibersihkan dengan air. Tetapi apa yg dapat menghilangkan kekeruhan jiwa anak ini akibat renggutanmu yg kasar?"
Sejauh kesalahan itu tidak berkaitan dengan hak orang lain, atau berhubungan dgn halal dan haram, Nabi Saw. menunjukkan sikap yang lunak. Tetapi Nabi Saw. segera mengambil sikap yang tegas ketika itu menyangkut hak orang lain.
Besarnya penghormatan Nabi Saw. terhadap hak, tampak semakin jelas bila kita mengingat satu peristiwa yang diriwayatkan oleh Bukhari & Muslim:
Dari Sahl bin Sa'ad r.a., Rasulullah Saw. pernah disuguhi minuman. Beliau meminumnya sedikit. Di sebelah kanan beliau, ada seorang anak kecil dan di sebelah kiri duduk para orangtua. Beliau bertanya kepada anak kecil itu, "Apakah engkau rela jika minuman ini aku berikan kepada mereka?" Anak kecil itu menjawab, "Aku tidak rela, ya Rasul Allah, demi Allah, aku tidak akan memperkenankan siapa pun merebut bagianku darimu." Rasulullah Saw. meletakkan minuman itu ke tangan anak kecil tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika Rasulullah Saw. memberi penghormatan kepada hak anak yg masih kecil sekalipun, kita justru sangat sering mengabaikannya dengan alasan mendidik mereka untuk menjadi dermawan. Kita sering merampas hak-hak mereka. Mereka memang mau memberi, tetapi bukan karena dorongan dalam hati, melainkan karena tak kuasa menghadapi desakan orangtua. Mereka mengalah karena tak berdaya, sehingga saat mereka beranjak dewasa, kita dikejutkan oleh sikap mereka yang keras kepala, mau menang sendiri, dan tidak mau peduli dgn orang lain. Khairul kalam kalamullah, khairul huda huda Muhammad.
Sebaik-baik perkataan adalah firman Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Muhammad Saw. Di balik penghormatan Nabi Saw. kepada hak anak, ternyata ada kebaikan yg sangat besar. Ketika hak mereka dijaga, mereka akan belajar menemukan
rasa aman. Mereka juga belajar menghormati hak orang lain. Inilah jalan yg memudahkan mereka untuk mengalah secara sadar dengan memberikan haknya kepada orang lain. Dan sejarah telah mengajarkan kepada kita, generasi didikan Nabilah yang benar-benar memiliki akhlak menakjubkan. Bukan generasi kita, ketika psikologi dan ilmu pendidikan berkembang luar biasa.
Ya Allah., alangkah beringasnya kita kepada anak, pada hal kita mengaku ummat Muhammad. Hanya karena lupa baca basmalah ketika makan, seorang bapak memukul tangan anaknya keras-keras. Ia menghukum karena tidak ingin anaknya menyepelekan agama, tetapi ia lupa bahwa sikap seperti itu dapat menyebabkan anak menyimpan anggapan yg buruk kepada agamanya. Padahal agama sendiri telah memberi kemudahan. Kalau lupa baca basmalah, cukuplah kita membaca, "Bismillahi awaluhu wal akhiruhu."
Bercermin pada Nabi, kita perlu memilah cara bersikap kepada anak. Inilah bagian tersulit yg saya rasakan. Terlebih jika kita terbiasa bertindak impulsif dalam menyikapi perilaku anak, terutama perilaku yg kita anggap sebagai kenakalan. Padahal sikap selektif yang konsisten dalam menghukum anak, merupakan kunci agar tindakan kita benar-benar efektif. Memberi hukuman kepada anak dalam bentuk yg sama dengan tingkat yg sama pula untuk setiap bentuk kesalahan, justru dapat membuat hukuman tidak efektif. Apalagi kalau kita menghukum anak tanpa ada tolok ukur yg jelas.
Berat ringannya hukuman semata-mata berdasarkan suasana hati kita. Alhasil, persoalannya terletak pada bagaimana kita memberi hukuman. Menghukum dengan cara yang tidak tepat, bisa membuat anak merasa dilecehkan. Anak merasa orangtua sewenang-wenang, kejam, seenaknya sendiri dan sejumlah perasaan negatif lainnya. Anak bisa merasa dibeda-bedakan dengan saudaranya yang lain. Akibat lain dari hukuman yang tidak tepat, anak bisa menjadi minder, penakut atau bahkan pengecut. Tetapi mendidik anak tanpa aturan yg harus dihormati, bisa membuat anak tidak mampu mengendalikan diri. Mereka bisa menjadi pribadi a-sosial; pribadi yang tidak mampu bermasyarakat.
Apa saja yang perlu kita perhatikan ketika harus memberi hukuman pada anak? Wallahu A'lam bishawab. Selebihnya ada beberapa catatan yang perlu kita perhatikan.
Pertama, menghukum anak bukan sebagai luapan emosi, apalagi sebagai pelampiasan rasa jengkel karena perilaku mereka yang memusingkan kepala. Segala sesuatu berawal dari niat. Tampaknya sepele, tetapi yang sepele ini mempengaruhi sikap kita, dan cara kita bersikap akan mempengaruhi penerimaan anak. Selain itu, dengan senantiasa belajar membenahi niat kita dalam menghukum anak, perilaku kita lebih terkendali. Kalau kita masih terbiasa bertindak impulsif, sekurangnya emosi kita akan lebih mudah reda. Kita
lebih cepat menyadari kekeliruan kita dalam menghadapi anak.
Kedua, menghukum merupakan tindakan mendidik agar anak memiliki sikap yg baik. Artinya, hal terpenting dalam menghukum adalah anak mengerti apa yg seharusnya dilakukan dan memahami apa yang menyebabkan dia dihukum. Jika anak menyadari kesalahannya dan memperbaiki sikapnya, orangtua perlu memberi umpan balik yg positif. Tidak layak orangtua terus memberi tekanan mental kepada anak, padahal mereka telah menunjukkan penyesalan. Sebaliknya, yg perlu kita berikan adalah dukungan dan penerimaan yang tulus.
Ketiga, tindakan memberi hukuman kepada anak adalah dalam rangka mengajari anak bahwa setiap perbuatan mempunyai konsekuensi. Orangtua menghukum anak bukan karena marah atau membalaskan kejengkelan. Juga bukan untuk mempermalukan anak. Yg disebut terakhir ini perlu saya garis bawahi.
Sering saya jumpai orangtua menghukum anak dengan cara mempermalukan, bahkan ketika anaknya masih belum genap berusia tiga tahun. Lebih menyedihkan lagi, terkadang orangtua tidak puas hanya dengan mempermalukan di hadapan teman dan tetangga. Orangtua bahkan mengolok-olok anak tanpa rasa bersalah sedikit pun. Padahal, inilah yang menghancurkan citra diri dan harga diri anak.
Apa yang terjadi jika anak merasa hukuman itu untuk mempermalukan dirinya? Ada beberapa kemungkinan. Boleh jadi anak berusaha untuk melakukan tindakan serupa. Anak mempermalukan orangtua. Boleh jadi anak belajar menjadi pemberontak. Mereka merasa senang apabila bisa membuat orangtuanya marah. Atau boleh jadi sebaliknya, anak merasa minder. Anak merasa dirinya tidak berharga.
Nah, kita akan mudah terpancing memberi hukuman yang mempermalukan anak apabila niat kita tidak kokoh. Karena itu, suami-istri perlu bekerja sama untuk terus-menerus membenahi niat. Ya, terus-menerus. Tanpa niat yg jernih, emosi bisa berapi-api tanpa terkendali. Kemarahan bisa meledak. Dalam keadaan demikian, kita mudah lupa terhadap niat awal membesarkan anak.
Alhasil, keduanya saling berkait. Niat mempengaruhi emosi, dan sebaliknya emosi mempengaruhi niat. Lagi-lagi, butuh kerja-sama yang terus-menerus antara suami dan istri untuk senantiasa menata niat.
Saya mohon maaf jika harus mengulang-ulang masalah niat. Saya merasa perlu menegaskan hal ini karena saya melihat masalah niat memiliki pengaruh yg kuat. Niat bisa membawa dampak yang besar. Sayangnya, kita amat sering lupa.
Keempat, hukumlah anak, tetapi jangan sakiti dia. Acapkali kita bermaksud menghukum anak, tetapi yang terjadi sebenarnya adalah menyakiti hati anak. Kita memojokkan anak dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya mati kutu. Atau, kita menghujani anak dengan ancaman-ancaman yg menakutkan, meskipun anak sudah menunjukkan iktikad baik. Lebih tragis, kalimat-kalimat menyakitkan itu kadang kita ucapkan ketika penyesalan itu muncul dari kesadaran anak. Bukan saat tengkuk anak merunduk mendengar nasehat kita (yang barangkali lebih tepat disebut omelan).
Kelima, tetaplah berpikir jernih saat menghukum anak. Keputusan-keputusan yang baik dapat kita ambil hanya ketika pikiran kita jernih. Tanpa itu, tindakan kita justru bisa memperpanjang masalah dan memperumit keadaan. Tetapi, lagi-lagi pikiran yang jernih hanya bisa muncul ketika hati kita tenang dan emosi kita terkendali. Dalam keadaan emosi meluap-luap dan amarah yg memuncak, sulit kita berpikir dengan tenang, rasional dan terarah. Ini berarti, kita perlu kendali diri yang kuat. Begitu kemarahan memuncak akibat ulah anak-anak yang senantiasa teriak-teriak, kita perlu segera meredakan gejolak. Kita perlu mendinginkan emosi. Jika kita tidak mampu
melakukannya, tugas istri untuk mengingatkan.
Kalau boleh jujur, inilah bagian paling sulit yang saya rasakan: menata hati terus-menerus. Padahal semua berawal dari sini. Ya, segala sesuatu bergantung dari niatnya. Dan niat bukanlah apa yang kita katakan, tetapi apa yang menggerakkan kita untuk berbuat. Wallahu a'lam bishawab.
Keenam, kasih-sayang mendahului kemarahan. Meskipun kita memberi hukuman kepada anak, tunjukkanlah bahwa kita melakukannya karena didorong oleh rasa cinta dan asih-sayang. Imbasnya, jangan berat hati untuk mengusap kepala mereka atau mengecup keningnya dengan mesra ketika mereka menunjukkan keinginan untuk memperbaiki diri. Tunjukkanlah kasih-sayang sesudah menghukum, meski hati kita masih bergemuruh karena rasa jengkel yang belum pergi.

0 komentar:

Random Post

Widget edited by Nauraku

Arsip Komentar

Free Image Hosting


 

Top Post

SUARA MERDEKA CYBERNEWS

detikInet