Konsekuensi Kerja

02 Juni 2008




Konsekuensi KerjaDalam banyak kamus bahasa, uang diberi pengertian yang itu-itu juga. Ia disebut sebagai alat pembayaran yang sah, dibuat dari logam ––emas, perak, atau lainnya–– atau barang cetakan dan dipergunakan sebagai ukuran nilai/harga sesuatu, diberi dan diterima dalam jual beli. Jika kata uang dilacak asal usulnya, maka John Ayto menyebutkan beberapa kata seperti moneta (Romawi Kuno), monere (Latin), moneie (Perancis), dan money (Inggris), sebagai cikal bakal atau nenek moyang istilah uang. Mungkin akan lain halnya jika sejarah uang ditulis menurut orang Tiongkok Kuno, atau Yahudi dan Arab. Dan ketika dunia mulai mengenal uang plastik, maka pengertian credit dan debet card sebagai alat pembayaran yang sah dan diterima di banyak tempat mesti ikut dimasukkan.Apakah uang ––terlepas dari berbagai varian bentuknya–– hanya berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah? Mungkin tidak. Uang juga berfungsi sebagai simbol dari kemakmuran seseorang. Dengan uang, banyak hal bisa diperoleh, termasuk kekuasaan dan (maaf) seks.Hubungan antara uang dengan kekuasaan mungkin tersirat dari perkataan Deng Xiao Ping, "money talks loudly". Ya, uang bisa berbicara nyaring. Dalam kancah politik, uang dapat dipergunakan untuk membeli suara, membeli kedudukan dan pengaruh. Tak penting apakah sebuah negara menganut kapitalisme ––dengan atau tanpa kepedulian sosial sekalipun–– ataupun komunisme, uang memainkan peran yang sama pentingnya. Tanpa uang atau likuiditas dalam jumlah tertentu, sebuah pemerintahan bisa ambruk diterpa badai krisis seperti yang kita alami di Indonesia beberapa tahun terakhir.Hubungan antara uang dengan seks, amat jelas. Seks bisa dibeli dengan uang atau orang bisa menjual seks untuk mendapatkan uang. Tentu seks yang demikian haruslah dibedakan dengan (sebab ia bukan) cinta, sama seperti membeli kasur mewah dan empuk tak menjamin bisa tidur nyenyak.Dalam hubunganya dengan kemakmuran, jumlah uang yang dimiliki seseorang, misalnya, dapat menjamin pola hidup seperti apa yang dapat tetap dijalaninya sekalipun ia kehilangan nafkah utama pada suatu saat (di-PHK atau pensiun, misalnya). Dengan jumlah tabungan dalam jumlah tertentu (besarnya relatif), orang tak perlu khawatir bila harus kehilangan pekerjaan. Apalagi bila ia pandai menginvestasikan harta kekayaannya itu dengan bijaksana.Karena `daya guna' uang yang besar itulah maka tak heran jika kebanyakan orang bekerja untuk mendapatkan uang. Masalahnya, apakah tujuan aktivitas yang disebut kerja itu hanya untuk memperoleh uang? Saya kira tidak. Setidaknya karena saya lebih menyetujui pandangan yang mengatakan bahwa uang adalah salah satu konsekuensi dari bekerja. Artinya, bila kita bekerja, maka salah satu konsekuensi yang mengikutinya adalah terbukanya kesempatan untuk mendapatkan uang sebagai imbalan.Karena uang adalah salah satu konsekuensi (bukan `salah semua'), maka uang seharusnya tidak perlu dipandang sebagai tujuan akhir dari bekerja. Orang (kita) bekerja untuk mendapatkan uang. Ya. Tetapi bukan Cuma itu. Orang juga bekerja untuk dapat bersosialisasi, bergaul, dan mendapatkan teman. Orang bekerja juga untuk mengembangkan identitas diri, untuk menambah pengetahuan, meningkatkan keterampilan, dan mengabdikan diri. Bekerja dapat merupakan ekspresi dari keinginan beribadah kepada Tuhan, atau ungkapan rasa syukur karena dipercaya melaksanakan sebuah amanah yang agung dan suci.Pandangan yang mengatakan bahwa satu-satunya alasan orang bekerja adalah untuk memperoleh uang menunjukkan kurangnya kearifan dalam memaknai pekerjaan itu sendiri. Ini menunjukkan falsafah hidup yang tidak lengkap.Bukankah demikian?



Sumber: Konsekuensi Kerja oleh Andrias Harefa, seorang writer, trainer, dan speaker.

0 komentar:

Random Post

Widget edited by Nauraku

Arsip Komentar

Free Image Hosting


 

Top Post

SUARA MERDEKA CYBERNEWS

detikInet