Memaklumi Sebatas Apa?

28 Januari 2009


Setiap kali pergi ke pernikahan seorang kerabat atau teman, saya selalu merasa senang dan bahagia. Bukan hanya ingin turut mendoakan pasangan yang sedang berbahagia, tetapi karena ada kesempatan untuk menikmati hidangan yang berbeda-beda setiap kali datang.

Namun, kadang rasa senang itu sering kali ternoda dengan kondisi pesta yang hampir selalu diliputi oleh antrean untuk mendapatkan makanan. Saya rasa itu sesuatu yang wajar, tetapi saya sering merasa kesal karena beberapa orang sering kali memotong antrean tanpa merasa bersalah. Sayangnya lagi saya selalu berusaha memaklumi itu.

Kadang saya berpikir bagaimana bisa seorang yang terlihat matang, bijaksana dan memakai pakaian bagus seperti tamu di resepsi
pernikahan itu tidak mampu untuk mengantre dan mengambil hak milik
orang lain. Jangan-jangan sehari-harinya tamu ini memang suka
mengambil hak yang bukan miliknya.

Suatu ketika saya sedang berbelanja di sebuah mini market yang sekarang sedang menjamur di mana-mana. Suatu ketika uang kembalian saya kurang lima ratus rupiah dan si karyawan hendak menggantinya dengan 5 buah permen yang sebenarnya dipikir-pikir tidak sebanding
dengan harga uang lima ratus rupiah.

Kalau saya ingin makan permen saya biasanya memaklumi keadaan itu. Namun, terkadang saya mendongkol juga dalam hati, bagaimana seorang pengusaha yang sukses ternyata masih senang juga mengelabui pelanggannya untuk membeli produk yang tidak perlu dengan alasan uang kembalian tidak ada.

Sudah Merajalela

Bagi sebagian orang, sikap memaklumi itu sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup bermasyarakat. Kita sering kali memaklumi teman kita yang datang terlambat, sambil mengatakan guyonan pahit bahwa kalau tidak telat yah bukan si teman yang satu
ini.

Kita juga memaklumi selebriti yang senang kawin cerai. Malahan mungkin bagi sebagian wartawan infotaiment ini merupakan kondisi yang bisa menyokong kerja mereka sehari-hari. Kalau sepi kawin cerai di antara selebriti bisa memusingkan kepala, karena tidak ada berita
yang bisa diulas.

Dalam pemerintahan juga setali tiga uang. Kita sering kali memaklumi, jika ada pejabat pemerintah yang menyelewengkan kekuasaannya. Kita juga memaklumi jika ada aktivis yang tadinya sangat idealis, namun setelah masuk ke dalam birokrasi malah menjadi
sangat materialistis.

Banyak kemakluman yang sengaja kita lakukan agar kita tidak menjadi lelah hati dan pikiran melihat kenyataan yang tidak sesuai ini. Walaupun kita tahu ada yang salah, namun seringkali kita membiarkan.

Banyak alasan di balik sikap ini, ada yang karena keengganan, kemalasan berbicara, kurangnya kekuatan untuk bertindak dan rasa kurang percaya diri. Hal ini juga belum ditambah bahwa biasanya orang yang salah di negara kita ini malah yang lebih galak dan berani. Aneh bukan.

Harus Berubah

Bila kondisi ini terus- menerus terjadi, saya tidak dapat bayangkan apa yang akan kita hadapi beberapa tahun yang akan datang. Negara ini tentunya bukan akan mengarah ke yang lebih baik namun ke arah kehancuran.

Kita dapat tertinggal dengan bangsa lain karena kemakluman kita sangat tinggi termasuk maklum bila negara ini tidak maju-maju. Sikap ini sangat berbahaya karena sama saja kita membiarkan bangsa dan negara ini digerogoti pelan-pelan oleh anak bangsanya sendiri.

Kita semua harus berubah. Semuanya harus dimulai dari diri kita. Usahakanlah menegur terhadap orang yang melanggar peraturan.

Tegurlah dengan cara yang baik sehingga orang tersebut dapat memahami kekeliruannya.

Bila memang tidak bisa juga sikap tegas memang kadang diperlukan untuk hal-hal seperti ini.

Suatu saat saya pernah menegur seorang asing yang secara sengaja merokok di dalam ruangan berpendingin ruangan, yang secara jelas pula terdapat larangan merokok. Orang asing itu tidak meminta maaf, namun segera keluar untuk meneruskan merokoknya.

Sikap yang tidak sopan sebenarnya, namun yang penting saya sudah berani mengungkapkan keberatan saya atas sikapnya yang tidak mementingkan orang lain.

Saya rasa kita semua harus mulai melakukan hal-hal yang mampu membuat orang lain sadar akan kekeliruannya. Mungkin kebaikan yang kita perbuat ini bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk anak dan cucu kita yang sedang tumbuh.


Kita tentunya tidak rela melihat anak dan cucu kita akan tumbuh dalam iklim yang serba tidak pasti bukan? Bila kita tidak mau melakukannya untuk diri kita sendiri, berpikirlah tentang anak dan cucu kita sambil terus bertanya dalam hati Seandainya saya tidak
mulai melakukannya, lalu siapa lagi?

Sumber: Memaklumi Sampai Sebatas Apa? oleh Andri Suryadi, seorang Psikiater, Dosen Kesehatan Jiwa FK Ukrida

1 komentar:

Anonim mengatakan...

memang benar mas, kadang serba salah, terlalu maklum, orang lain tak tahu diri, maukeras juga bentrok. Butuh keahlian, menegur dengan cara yang tepat, untuk orang yang tepat, pada saat yang tepat.

Oh ya, perkenalkan, saya sumedi, admin bloggerpurworejo.com, saya telah menambahkan link blog anda ke link blogger purworejo.

saya undang berkunjung ke bloggerpurworejo.com.

Random Post

Widget edited by Nauraku

Arsip Komentar

Free Image Hosting


 

Top Post

SUARA MERDEKA CYBERNEWS

detikInet