Juli Eko Sarwono, Guru SMP yang Pedagang Bakso

20 November 2009

Pada acara Kick Andy Metro TV, dalam episode Satukan Hati Cerdaskan Bangsa, ditampilkan sosok Bp. Juli Eko Sarwono, seorang guru SMP Negeri 19 Purworejo. Berikut saya informasikan mengenai sosok Bapak Juli yang sudah mengharumkan nama Purworerjo Kota kita tercinta.

JULI Edi Sarwono adalah guru Matematika SMPN 19 Purworejo. Pak Eko, begitu dia biasa dipanggil, adalah sosok yang sangat sederhana. Namun dari kesederhanaannya, kita dapat belajar banyak hal. Di sela-sela kesibukannya sebagai guru, pak Eko juga berdagang bakso di lingkungan tempat tinggalnya.

Sepulang mengajar, beliau berjualan bakso dari pukul 16.00 sampai sekitar pukul 23.00 WIB. Meskipun sibuk, pak Eko tidak pernah menelantarkan anak didiknya, bahkan dia termasuk salah satu guru SMPN 19 yang paling kreatif. Salah satu bukti kreativitasnya adalah pajangan di kelas.

Ia membuat pajangan tersebut dan dipajangkan beberapa hari di dalam kelas. Pemajangan dilakukan relatif singkat karena ruangan kelas tersebut juga digunakan oleh guru lainnya. Pajangan yang sudah dilepas dari dinding kelas,

disusunnya kembali pada buku besar, seperti terlihat di samping ini. Selain itu, pak Eko juga masih sempat membuat bank soal untuk siswa-siswa kelas sembilan yang akan menghadapi ujian akhir nasional.

Tidak hanya itu, ketika mengajar pada jam-jam akhir sekolah, pak Eko tidak jarang mengajak siswanya belajar di halaman sekolah. Hal ini dilakukan agar siswa tidak bosan dan jenuh. Hasilnya ternyata tidak mengecewakan.

Pajangan kelas yang dibuat pak Eko disimpan dalam buku. Siswa dan guru bisa melihat dan meminjamnya untuk digunakan pada proses belajar

Sebagian besar siswanya mendapat nilai yang bagus dalam UN. Satu orang siswa mendapatkan nilai sempurna. Apa yang dilakukan pak Eko, menurut pengakuannya, merupakan penerapan dari hasil pelatihan modul dasar DBE3 yang diikutinya beberapa waktu lalu.

Apakah Anda Dibayar Terlalu Murah?

06 November 2009


Salah satu keluhan manusia paling umum adalah tentang betapa murahnya kita dibayar. Keluhan ini muncul terutama ketika surat kenaikan gajirutin kita terima. Betapa kenaikan take-home-pay itu tidak bisa mengimbangi kenaikan kebutuhan hidup kita. Meskipun komplain itu tidak selamanya jelek. Namun, untuk soal gaji kita perlu bertanya lagi; benarkah kita ini dibayar terlalu murah?

Ada sahabat yang getol mengomel tentang gaji. Suatu kali, kami berkesempatan makan siang setelah sekian lama tidak berjumpa. Komplain itu masih menjadi bagian dari dirinya. Lalu saya bertanya; "Memangnya elo digaji berapa?" Sebuah pertanyaan untung-untungan. Tidak dijawab juga tidak apa-apa.

"Yaaa, sekitar segini lah." Saya terbelalak karena dia begitu terbuka dengan gajinya, dan juga karena menurut hemat saya gajinya sudah tergolong besar untuk ukuran pekerjaan dan jabatan yang dia sandang.

"Pren, elu tahu rata-rata pendapatan orang Indonesia itu hanya sekitar $1,600 setahun. Artinya, cuma sekitar satu setengah juta setiap bulan. Lha, elo sudah lebih dari sepuluh kali lipat dari itu."

"Heh, elo jangan anggap gue pekerja kelas bawah gitu ye. Ya nggak berlaku lah rata-rata pendapatan semua penduduk termasuk kelas pekerja kasar dikampung-kampung dan pelosok desa tuch!" dia menukas dengan nada sengit.

"Oke, oke," saya mengangkat tangan. "Tapi, rata-rata pendapatan orang yang kerja di Jakarta pun cuma sekitar $5,167, Man. Empat setengah jutaan doang." Mata saya tertuju kearah piring. Tapi saya tahu teman saya ini melotot. "Gaji elu masih berkali-kali lipat dari itu."

"Heh, boy, udah gua bilang jangan pake rata-rata dong. Kemampuan gue juga kan diatas rata-rata!" katanya. "Dan elo juga sudah dibayar jaoooh diatas rata-rata," tangkis saya. "Ah, susah kali ngomong sama kau tuch!" Saya tidak kaget ketika dia menggebrak meja. Sifat aslinya keluar kalau sedang terdesak. "Orang harus dibayar sesuai dengan kemampuan dan kontribusinya masing- maaaasing!" Gayanya mirip Giant dalam film Dora Emon.

"Wah, kalau yang satu itu gue setuju abis, Man. Masalahnya, elu udah dibayar tinggi, masih komplen juga." Saya bilang. "Atas dasar apa elu merasa pantas mendapatkan bayaran lebih tinggi?"

"Pertama, teman gue." katanya "Diperusahaan lain dibayar lebih tinggi, padahal kemampuan gue nggak kalah dari dia." lanjutnya. "Kedua, gue udah kerja disini lebih dari lima tahun. Maasak, cuma segini-segini doang!"

"Menurut gue," saya meneguk teh botol. "ada satu cara yang lebih objektif untuk menentukan apakah elo dibayar terlalu murah atau tidak." "Gimana?" "Caranya," saya berhenti sejenak. "Elu harus menentukan satu hal.Yaitu; kalau elu tidak bekerja diperusahaan manapun, elu bisa mendapatkan penghasilan berapa?" Sesendok sayur bayam masuk kemulut saya. "Nah, kalau elu dibayar dibawah angka itu, maka elu dibayar terlalu murah. Jika tidak, artinya elu sudah mendapatkan bayaran yang layak."

Saya tahu bahwa gagasan ini agak kurang lazim. Tetapi anehnya, meskipun kita tidak puas dengan bayaran yang kita terima, kita masih juga bercokol disitu. Pertanda bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki dasar yang kuat untuk menuntut bayaran lebih dari itu. Sebab, jika kita benar-benar memiliki alternatif lain yang jauh lebih baik, tidaklah mungkin kita berdiam diri.

Mungkin, hengkang ketempat lain bisa jadi pilihan. Tidak aneh. Kalau perusahaan pesaing merekrut kita, pastilah mereka bersedia membayar ekstra dimuka. Karena, itu bagian dari strategy persaingan bisnis mereka. Kadang, perusahaan lama melakukan 'buy back' juga. Tapi hal ini tidak selalu bisa menggambarkan kemampuan dan kelayakbayaran kita sebagai individu secara utuh. Sebab, ada 'benchmark' disetiap industry. Artinya, selalu ada saat dimana gaji kita tidak bisa naik lagi kecuali kita layak untuk dipromosi kepada jabatan dan tugas yang lebih tinggi. Makanya, tidak aneh jika ada karyawan yang direkrut dengan bayaran awal yang tinggi, tapi kenaikan gaji berkalanya tak terlalu bermakna.

Sebaliknya, jika kita bisa menentukan; 'berapa pendapatan yang bisa kita hasilkan jika tidak bekerja untuk perusahaan manapun'. Maka kita akan bisa menentukan 'nilai' kita yang sesungguhnya. Misalnya, jika kita bisa menghasilkan 30 juta sebulan, maka kita bisa bernegosiasi dengan manajemen untuk mendapatkan bayaran yang sekurang-kurangnya setara dengan itu. Mengapa kita harus bertahan disana, jika bayarannya jauh lebih rendah dari yang bisa kita hasilkan sendiri? Namun, jika perusahaan sudah membayar kita lebih tinggi dari itu; kita tahu apa artinya itu, bukan?.

Sahabat saya menggugat: "Kalau gua bisa kerja sendiri ngapain gua disini? Dari dulu gua pasti sudah berhenti! Gua disini, karena gua nggak bisa kerja sendiri!" Betul. Disitulah point utamanya. Kita menyandarkan diri kepada perusahaan itu, tanpa ada alternatif lain yang lebih baik. Jika demikian situasinya, bukankah akan lebih baik jika kita berfokus kepada kontribusi yang bisa kita berikan ditempat kerja? Tanpa harus terlebih dahulu berhitung-hitung soal gaji. Sebab jika kita hanya bisa menjadi karyawan dengan prestasi rata-rata, mengapa perusahaan harus mengistimewakan kita? Sebaliknya, jika memang kita berprestasi sangat tinggi; tidaklah mungkin perusahaan menyia-nyiakan kita. Bahkan, kenaikan gaji 'tidak lazim' mungkin bisa kita terima tanpa terduga. Dan, jikapun perusahaan tempat kerja kita benar-benar menutup mata; masih banyak perusahaan baik yang bersedia mempekerjakan kita, dengan bayaran.

Random Post

Widget edited by Nauraku

Arsip Komentar

Free Image Hosting


 

Top Post

SUARA MERDEKA CYBERNEWS

detikInet