Kepedulian dari Titik Nol

22 Februari 2010

“A bone to the dog is not charity. Charity is the bone shared with the dog, when you are just as hungry as the dog.”
-- Jack London, pelaut dan penulis asal Amerika Serikat, 1876 - 1916

DI layar kaca, seorang perempuan terlihat kehausan. Entah apa sebabnya, di kantong celananya hanya tersisa sedikit uang. Jangankan untuk mereguk minuman favoritnya berupa teh yang dikemas dalam botol, untuk membeli segelas air putih saja uang itu tidaklah cukup. Bak seorang peminta-minta, dia pun berkeliling. Tujuannya satu, dia ingin mendapatkan tambahan uang sebanyak lima ratus perak. Namun apa yang terjadi? Tak satu pun yang memberi. Fuih, kejam nian Jakarta ini.

Syukurlah, sang penolong itu datang juga. Seorang pemulung, yang pakaiannya kucel minta ampun, malah memberikan si perempuan cantik itu uang lima ratus peraknya. Padahal dia baru saja mengenalnya pada saat itu. Si perempuan itu pun bersorak gembira. Dia segera membeli minuman untuk melepaskan dahaganya. Dan, glek-glek, air dalam gelas plastik itu meluncur ke dalam kerongkongannya. Si pemulung pun tersenyum. Pertolongannya memberikan manfaat bagi orang lain. Namun kepuasan si pemulung tak berhenti sampai di situ. Dia ternyata jatuh haru ketika mendapatkan ’uang pengganti’ yang berjumlah jutaan rupiah. Itulah potongan acara reality show yang ditayangkan salah satu televisi swasta. Suatu acara yang dikemas sedemikian rupa, dengan tujuan menguji seseorang, apakah dia mau menolong orang lain pada saat dia sendiri sedang dalam kesulitan.

Penonton televisi di negeri ini mungkin sudah jenuh dengan acara seperti itu. Sudah jelas banyak hal yang tidak masuk akal. Mosok si gadis cantik itu tak punya uang, padahal dandanannya keren abis. Atau, masa sih, penjual minuman sama sekali tak mau memberikan diskon pada pembelinya? Ragam pertanyaan itu akhirnya hanya berujung pada soal rating sebuah acara. Nah sekarang, lupakan soal apakah acara itu rekayasa atau bukan. Ada nilai positif dari kisah di layar kaca tersebut. Betapa seorang pemulung yang serba kekurangan, ternyata masih mau mengulurkan tangannya pada orang lain. Itu poin pentingnya.

Uang lima ratus perak bagi seorang pemulung tentulah sangat berharga. Dalam suatu artikel di surat kabar, seorang pemulung menjual hasil yang didapatnya selama sehari penuh, yang mungkin tak banyak jumlahnya. Setelah cukup untuk makan, uang recehan tersisa yang didapatnya kemudian ditabung. Uang itulah yang digunakan untuk keperluan sehari-hari mereka di lain waktu. Prinsip mereka sederhana sekali, menabung sedikit-demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Terlihat, begitu berharganya uang receh bagi mereka. Jadi, kerelaan pemberian yang dilakukan pemulung tersebut sungguh luar biasa.

Berbagi saat kita mempunyai kelebihan memang sesuatu yang sangat dianjurkan. Tapi berbagi saat kita sendiri mengalami kekurangan, mungkin suatu hal yang sulit dilakukan. Bayangkanlah seandainya kita menjadi seorang pemulung tadi. Pada saat kekurangan itulah, keikhlasan dan kesabaran kita sesungguhnya diuji. Dan bukankah kesabaran seorang diuji di saat mereka berada dalam kekurangan?

Berbagi di kala kekurangan merupakan esensi dari sebuah pertolongan. Saat kita merasa tak berkecukupan, namun bisa memberikan pertolongan pada orang yang membutuhkan, akan menimbulkan rasa bahagia yang tak terkira. Disanalah kita akan merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang mengalami kesulitan tersebut. Sadar atau tidak, kita telah melakukan empati. Melakukan empati, pada dasarnya kita mencoba ’mendengarkan’ seseorang hingga ke dasar terdalam cara berpikirnya. Kita pun mencoba mendalaminya, dan mencoba melihat dari sudut pandang pemahamannya. Termasuk juga dapat memahami apa yang dirasakannya. Apa yang dirasakan orang yang kesulitan dan membutuhkan uluran tangan kita itu pulalah yang saat itu kita rasakan. Singkat kata, empati adalah bersatunya rasa.

Kebahagiaan memang dapat diperoleh dengan berbagai cara. Memberi dalam keadaan berkelimpahan atau mampu, mungkin merupakan suatu kebahagiaan tersendiri bagi sang pemberi. Tapi, kebahagiaan memberi di saat kekurangan, bisa jadi merupakan sesuatu hal yang sungguh-sungguh indah. Patut diingat, bahwa memberi tentu saja tak harus berupa materi. Ia dapat berupa apa saja. Memberi senyum dikala hati seseorang sedang gundah tentu memberi makna yang berbeda dikala ia tersenyum dalam keadaan hatinya riang gembira.

Nah, mulai saat ini, tak perlu ragu untuk memberi. Memberi apa pun. Memberi senyuman. Memberi kebajikan. Memberi materi. Dan tak perlu melihat lagi berapa isi dompet Anda untuk menghitung uang yang akan tersisa. Orang bijak berkata, saat berbuat kebaikan pada orang lain, sesungguhnya kita sedang membantu diri sendiri, agar menjadi lebih bahagia. Bukan begitu sahabat?

*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media Komputindo, 2009

Kok, Takut Berbuat Salah?

21 Februari 2010

Oleh: Syahril Syam

Tanggapilah dengan pandai bahkan terhadap perlakuan tidak pandai sekalipun.
- Lao Tsu -

Dalam sebuah wawancara, seorang reporter menanyakan rahasia dibalik sukses seorang direktur utama bank.

"Dua kata", jawabnya.
"Apa saja?", kejar sang reporter.
"Keputusan jitu."
"Bagaimana membuat keputusan yang jitu?"
"Satu kata."
"Apa itu?"
"Pengalaman."
"Bagaimana Anda menimba pengalaman?"
"Lima kata."
"Apa saja?"
"Dengan membuat keputusan yang salah."

Sering kali kita menghindari kesalahan atau kegagalan. Kita tidak ingin terlihat bodoh, malu, atau dipecundangi oleh orang lain. Dalam setiap penampilan kita, ketika bergaul dengan orang lain, kita selalu ingin terlihat sempurna. Bahkan, terdapat sebuah pemikiran yang berkembang, bahwa kalau kita berbuat kesalahan, maka kita tidak saja membuat malu diri kita, tapi juga orang tua kita. Kenapa? Karena orang tua kita telah salah mendidik kita. Begitulah yang sering dipikirkan oleh kebanyakan orang.

Agar kita tidak membuat malu orang tua, maka kita harus tampil sempurna. Yang lebih parah lagi, orang tua pun sering memaksakan anaknya untuk tampil sempurna, dan jangan berbuat kesalahan/kegagalan . Di tambah lagi dengan lingkungan tempat kita tinggal dan bergaul. Seringkali sebuah lingkungan tidak menerima orang yang berbuat kesalahan. Apalagi jika kesalahan itu memberi aib pada lingkungan tersebut.

Lingkaran-lingkaran inilah yang sering mempengaruhi kita, sehingga bertambah besarlah keinginan kita untuk menghindari yang namanya kesalahan/kegagalan . Namun, cobalah untuk menyimak sebuah kata bijak berikut ini: "Kalau Anda takut berbuat kesalahan, maka sesungguhnya Anda tidak pernah melakukan apa-apa." Kok bisa demikian? Marilah kita ambil sebuah contoh, sesuatu yang ingin dilakukan dahulu oleh hampir semua orang ketika beranjak remaja: NAIK SEPEDA.

Saya pun dulu sangat ingin merasakan naik sepeda (sepeda roda dua, bukan sepeda roda tiga). Namun, ketika mencobanya untuk pertama kalinya saya sering terjatuh. Saya bahkan meminta tolong orang tua atau teman, bahkan tetangga, agar membantu saya belajar menaiki sepeda tersebut. Saya sudah lupa berapa banyak saya terjatuh (berbuat kesalahan). Hingga akhirnya saya berhasil menguasai sepeda tersebut.

Dan ternyata, untuk sebuah hal baru yang ingin kita lakukan, kita tidak akan pernah langsung bisa, tapi kita pasti bisa jika terus belajar. Hal ini pula yang menjawab pertanyaan: "Siapa bilang saya tidak melakukan apa-apa, kalau saya tidak berbuat salah?" Memang betul kita pun sering melakukan sesuatu, dan kita tidak atau sangat kurang melakukan kesalahan. Misal saja, makan. Hampir (saya katakan hampir, karena ada orang yang tidak makan setiap hari) setiap hari kita makan. Namun, apakah kita lupa, dulu pun kita melakukan kesalahan sewaktu belajar untuk makan sendiri. Jadi, ketidakinginan untuk melakukan kesalahan, berarti kita hanya berada pada lingkaran aktifitas yang hanya itu-itu saja, tidak mengalami perkembangan.

Hal ini bukan berarti bahwa setiap orang bebas melakukan kesalahan. Karena, ada juga orang melakukan kesalahan, dan itu bukan untuk perkembangan dirinya, kecuali orang tersebut mengakui kesalahannya dan mau untuk belajar. Misalnya saja, mencuri. Ini pun sebuah bentuk kesalahan, namun bukan kesalahan yang saya maksudkan di sini. Secara sederhana kita dapat membedakannya dengan: KESALAHAN YANG DISENGAJA DAN KESALAHAN YANG TIDAK DIKETAHUI.

Salah satu kemampuan tubuh manusia adalah adaptasi. Kalau kita berada di musim panas, dan secara tiba-tiba terjadi pergantian musim menjadi musim dingin. Maka, kita akan setengah mati menghadapinya. Ini disebabkan karena tubuh kita belum terbiasa dengan perubahan suhu yang mendadak. Namun, lambat laun tubuh kita akan beradaptasi, sehingga membuat kita dapat tetap bertahan di musim dingin. Pada proses adaptasi inilah, sering kita melakukan kesalahan/kegagalan .

Awalnya kita belum terbiasa naik sepeda roda dua. Namun, lewat proses pembelajaran kita pun dapat beradaptasi/ terbiasa dengan sepeda roda dua. Nah, pada proses pembelajaran ini kita sering melakukan kesalahan/kegagalan . Dan, kita belajar dari kesalahan/kegagalan tersebut. Kenapa dalam proses adaptasi kita sering melakukan kesalahan/kegagalan ? Karena kita belum memiliki kemampuan untuk sesuatu yang baru. Inilah keterbatasan pengatahuan kita.

Jadi, dengan menyadari keterbatasan pengetahuan kita, maka kita terus-menerus melakukan proses pembelajaran untuk hal-hal yang baru. Dan di dalam melakukannya akan sering terjadi kesalahan/kegagalan . Jadi, kesalahan/kegagalan adalah sebuah pengetahuan yang baru bagi kita, sampai kita mendapatkan pengetahuan yang kita inginkan. Itulah sebabnya saya menyamakan kata "kesalahan" dengan kata "kegagalan". Walaupun ada jenis kegagalan yang tidak mendidik. Misalnya saja, pernyataan, "Saya gagal mencuri hari ini!" Jadi, kesalahan/kegagalan adalah sebuah proses alamiah yang harus kita lalui untuk mendapatkan pengetahuan baru (harapan baru).

Beda halnya dengan kesalahan yang dilakukan dengan sengaja. Walaupun demikian, sesungguhnya dalam kesalahan yang disengaja pun orang melakukan kesalahan/kegagalan lagi. Misalnya saja, untuk menjadi pencuri ulung, diperlukan banyak kesalahan/kegagalan agar mahir melakukannya. Bukan hanya pelajaran itu saja yang didapatkan. Kalau kita ingin meningkatkan kualitas hidup kita, maka kesalahan yang disengaja pun dapat memberikan pembelajaran/ pengetahuan baru bagi kita. Jadi, bukan saja, seberapa banyak kesalahan yang Anda lakukan (baik alamiah atau disengaja), tapi, apakah kita mau untuk meningkatkan kualitas diri kita?

Mungkin itulah sebabnya Tuhan itu Mahapengampun, asal niat kita untuk meningkatkan kualitas diri kita (dengan betul-betul bertobat). Karena setiap kesalahan, baik alamiah atau disengaja, sesungguhnya memberikan pelajaran bagi kita. Dan itu semua tergantung pada pandangan kita, apakah mau meningkatkan diri atau menjatuhkan martabat diri?

Terdapat sebuah kalimat indah dari Anthony Robbins, "Tidak ada hal-hal seperti kegagalan. Yang ada hanya hasil. Anda selalu membuat hasil. Kalau itu bukanlah yang diinginkan, Anda cukup mengubah tindakan dan memperoleh hasil baru." Ini berarti bahwa setiap kesalahan/kegagalan adalah hasil yang harus kita pelajari untuk sampai pada hasil yang diharapkan.

Ingat! SAYA harus sering menerima dan belajar ketika melakukan kesalahan yang alamiah karena di dalamnya terdapat sebuah proses pembelajaran. Karena lewat cara itulah SAYA dapat terus BERBUAT dan BERKEMBANG!

*) Syahril Syam adalah seorang konsultan, terapis, public speaker, dan seorang sahabat yang senantiasa membuka diri untuk berbagi dengan siapa pun. Ia memadukan kearifan hikmah (filsafat) timur dan kebijaksanaan kuno dari berbagai sumber dengan pengetahuan mutakhir dari dunia barat.

Random Post

Widget edited by Nauraku

Arsip Komentar

Free Image Hosting


 

Top Post

SUARA MERDEKA CYBERNEWS

detikInet