Oleh Siti Aisyah Nurmi
“Kalau sudah besar mau jadi apa nak?”
”Jadi doktel......” ”Jadi insinyur, bikin pesawat!!!”
”Jadi PROFESOR.....”
”Jadi bintang pilem....”
”Wah pintar semua murid ibu yaaa.....”
Potret percakapan yang tidak asing lagi ditelinga kita ketika anak-anak kita yang manis-manis dan lucu-lucu ditanyakan cita-cita mereka. Nelongso....LHO? Ya, prihatin. Sebab anak-anak kita fasih sekali menyebutkan cita-cita duniawi mereka, bahkan sejak mereka kecil.
Seorang hafidz baru saja menerima murid baru, seorang anak remaja usia 16 tahun. Setelah wawancara dengan sang calon murid, sang hafidz bicara dengan orangtua anak tersebut: ”Wah Pak, saya terharu sekali, setelah 6 th mengajar tahidzul Qur’an di sekolah Islam terpadu, baru kali ini saya mendapatkan murid yang bercita-cita jadi hafidz 30 juz!”. Kontan si orangtua bertanya: ”Apa begitu, stadz? Kan banyak orangtua murid menyekolahkan anak mereka ke sini justru karena pendidikannya terpadu dengan Islam? Bahkan tahfidzul Qur’an termasuk kurikulum, ’kan?”. ”Yaah, begitulah Pak, kenyataannya perhatian murid maupun orangtua terhadap Qur’an juga tidak sebesar itu. Maksud saya, sedikit sekali yang berpikir menjadikan keahlian Qur’an sebagai cita-cita untuk dikejar.” Nelongso dua kali!
Memang itu kenyataan zaman kita sekarang. Jika seorang ditanya suami model apa yang ia harapkan untuk putrinya, maka kebanyakan jawaban pertamanya menyangkut kriteria keberhasilan seperti: sarjana, dokter, orang kaya dst. Begitu pula jika ditanya apa yang ia harapkan dari putra-putrinya sendiri kelak jika mereka sudah besar dan dewasa. Salahkah itu? Belum tentu. Memang keberhasilan dunia adalah hal yang perlu. Perlu untuk kehidupan di dunia fana ini. Menurut pendapat umum, seseorang yang mempunyai sederet gelar keberhasilan dunia pasti hidupnya ’tidak susah’. Benarkah tidak susah?
Seorang anak manusia yang lahir tanpa pengetahuan, adalah obyek garapan lingkungan hidupnya. Ia akan belajar baik dan buruk dari apa yang tersaji padanya sebagai rangkaian pengalaman, pembelajaran dan peristiwa. Kesimpulan-kesimpulan yang diperolehnya merupakan resultante/hasil dari berbagai pengaruh tersebut dengan ditambah apa yang ia bawa sebagai bakat genetiknya. Jadilah ia manusia zamannya, manusia hari ini. Ibu, bapak, guru dan keluarga merupakan guru-guru pertama dan utama. Dari orang-orang inilah si anak pertama kali mempelajari apa arti sukses dan gagal. Seorang yang sepanjang hidupnya selalu melihat praktek penghambaan terhadap materi, ia akan mengadopsi pandangan lingkungannya tentang mana yang ’patut dipilih’ atau ’patut dihindari’. Atau dalam bahasa populer: mana yang dianggap ’sukses’ dan ’baik’ dan mana yang dianggap ’gagal’ dan ’buruk’. Dalam dunia yang saat ini dikuasai materialisme, semua kriteria sukses dihubungkan dengan kesuksesan bendawi dan semakin jauh dari pemahaman dan pendalaman nilai-nilai tinggi yang tidak kasat mata. Kebahagiaan seseorang hanya diapresiasi dari gemerlap bajunya, mentereng rumahnya tanpa melihat kepada airmata duka yang terpendam dalam pahit hidupnya yang morat-marit dan kegelisahan hatinya yang kering kerontang. Hal-hal seperti itu baru terlihat dan diperhatikan orang banyak hanya jika sudah terangkat sebagai bahan celotehan acara tayangan gossip. Mirisnya, tayangan-tayangan seperti itupun TIDAK memberikan kesimpulan-kesimpulan yang mendidik. Cukup sekedar memoles berita menjadi bahan obyek rating dan mottonya: semakin seru semakin tinggi nilai gossipnya.
Hidup memang ujian. Sudah pasti hidup seseorang akan mengalami enak dan tidak enak, susah dan senang. Namanya juga dunia, ”daarul ibtila’ ” atau kampung ujian. Lalu bagaimana seharusnya kita menilai sukses dan tidak sukses kehidupan dunia ini?
Sebagai sebuah sistem nilai yang sempurna, Islam mempunyai sebuah ‘paradigma sukses’ yang khas dan tidak bisa difahami kecuali dengan kelengkapan pemahaman dari sub-sistem nilai Islam yang lain, yaitu misalnya dari Aqidah Islamiyah. Sebagaimana yang dapat kita lihat pada ayat berikut:
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ ﴿
﴾“ Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS 3:185)
Kita lihat di sini bahwa (1) Yang dimaksud dengan ‘sukses’
فَقَدْ فَازَ
Menurut paradigma Al-Qur’an adalah Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga. (2) Ditegaskan lagi bahwa yang namanya kehidupan dunia hanyalah suatu keadaan sementara (fana) sedangkan penyempurnaan pahala hanya terjadi di Akhirat (3) Paradigma sukses menurut Islam tidak terlepas dari masalah keimanan pada hari Kiamat (masalah Aqidah/ faith).
Hidup ini sebentar dan semu, sedangkan HIDUP yang sebenarnya, yang panjang, yang kekal, yang abadi, justru adalah hidup nanti.
Memang, ternyata pandangan kita masih pendek.(san)
Wallahua’lam bishshowwaab
Sumber : Eramuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar