EMPATHY

14 November 2008

By: Andy F Noya

Suatu malam, sepulang kerja, saya mampir di sebuah restoran cepat saji di
kawasan Bintaro. Suasana sepi. Di luar hujan. Semua pelayan sudah berkemas.
Restoran hendak tutup. Tetapi mungkin melihat wajah saya yang memelas
karena lapar, salah seorang dari mereka memberi aba-aba untuk tetap
melayani. Padahal, jika mau, bisa saja mereka menolak.

Sembari makan saya mulai mengamati kegiatan para pelayan restoran. Ada yang
menghitung uang, mengemas peralatan masak, mengepel lantai dan ada pula
yang membersihkan dan merapikan meja-meja yang berantakan.

Sayamembayangkan rutinitas kehidupan mereka seperti itu dari hari ke hari.
Selama ini hal tersebut luput dari perhatian saya. Jujur saja, jika
menemani anak-anak makan di restoran cepat saji seperti ini, saya tidak
terlalu hirau akan keberadaan mereka. Seakan mereka antara ada dan tiada.
Mereka ada jika saya membutuhkan bantuan dan mereka serasa tiada jika saya
terlalu asyik menyantap makanan.

Namun malam itu saya bisa melihat sesuatu yang selama ini seakan tak
terlihat. Saya melihat bagaimana pelayan restoran itu membersihkan
sisa-sisa makanan di atas meja. Pemandangan yang sebenarnya biasa-biasa
saja. Tetapi, mungkin karena malam itu mata hati saya yang melihat,
pemandangan tersebut menjadi istimewa.

Melihat tumpukan sisa makan di atas salah satu meja yang sedang
dibersihkan, saya bertanya-tanya dalam hati: siapa sebenarnya yang baru
saja bersantap di meja itu? Kalau dilihat dari sisa-sisa makanan yang
berserakan, tampaknya rombongan yang cukup besar. Tetapi yang menarik
perhatian saya adalah bagaimana rombongan itu meninggalkan sampah bekas
makanan.

Sungguh pemandangan yang menjijikan. Tulang-tulang ayam berserakan di atas
meja. Padahal ada kotak-kotak karton yang bisa dijadikan tempat sampah.
Nasi di sana-sini. Belum lagi di bawah kolong meja juga kotor oleh tumpahan
remah-remah. Mungkin rombongan itu membawa anak-anak.

Meja tersebut bagaikan ladang pembantaian. Tulang belulang berserakan.Saya
tidak habis pikir bagaimana mereka begitu tega meninggalkan sampah
berserakan seperti itu. Tak terpikir oleh mereka betapa sisa-sisa makanan
yang menjijikan itu harus dibersihkan oleh seseorang, walau dia seorang
pelayan sekalipun.

Sejak malam itu saya mengambil keputusan untuk membuang sendiri sisa
makanan jika bersantap di restoran semacam itu. Saya juga meminta anak-anak
melakukan hal yang sama. Awalnya tidak mudah. Sebelum ini saya juga pernah
melakukannya. Tetapi perbuatan saya itu justru menjadi bahan tertawaan
teman-teman. Saya dibilang sok kebarat-baratan. Sok menunjukkan pernah ke
luar negeri. Sebab di banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika, sudah
jamak pelanggan membuang sendiri sisa makanan ke tong sampah. Pelayan
terbatas karena tenaga kerjamahal.

Sebenarnya tidak terlalu sulit membersihkan sisa-sisa makanan kita. Tinggal
meringkas lalu membuangnya di tempat sampah. Cuma butuh beberapa menit.
Sebuah perbuatan kecil. Tetapi jika semua orang melakukannya, artinya akan
besar sekali bagi para pelayan restoran.

Saya pernah membaca sebuah buku tentang perbuatan kecil yang punya arti
besar. Termasuk kisah seorang bapak yang mengajak anaknya untuk
membersihkan sampah di sebuah tanah kosong di kompleks rumah mereka.
Karena setiap hari warga kompleks melihat sang bapak dan anaknya membersihkan
sampah di situ, lama-lama mereka malu hati untuk membuang sampah di situ.

Belakangan seluruh warga bahkan tergerak untuk mengikuti jejak sang bapak
itu dan ujung-ujungnya lingkungan perumahan menjadi bersih dan sehat.
Padahal tidak ada satu kata pun dari bapak tersebut. Tidak ada slogan,
umbul-umbul, apalagi spanduk atau baliho. Dia hanya memberikan keteladanan.
Keteladanan kecil yang berdampak besar.

Saya juga pernah membaca cerita tentang kekuatan senyum. Jika saja setiap
orang memberi senyum kepada paling sedikit satu orang yang dijumpainya hari
itu, maka dampaknya akan luar biasa. Orang yang mendapat senyum akan merasa
bahagia. Dia lalu akan tersenyum pada orang lain yang dijumpainya. Begitu
seterusnya, sehingga senyum tadi meluas kepada banyak orang. Padahal asal
mulanya hanya dari satu orang yang tersenyum.

Terilhami oleh sebuah cerita di sebuah buku "Chicken Soup", saya kerap
membayar karcis tol bagi mobil di belakang saya. Tidak perduli siapa di
belakang. Sebab dari cerita di buku itu, orang di belakang saya pasti akan
merasa mendapat kejutan. Kejutan yang menyenangkan. Jika hari itu dia
bahagia, maka harinya yang indah akan membuat dia menyebarkan virus
kebahagiaan tersebut kepada orang-orang yang dia temui hari itu. Saya
berharap virus itu dapat menyebar ke banyak orang.

Bayangkan jika Anda memberi pujian yang tulus bagi minimal satu orang
setiap hari. Pujian itu akan memberi efek berantai ketika orang yang Anda
puji merasa bahagia dan menularkan virus kebahagiaan tersebut kepada
orang-orang di sekitarnya.

Anak saya yang di SD selalu mengingatkan jika saya lupa mengucapkan kata
"terima kasih" saat petugas jalan tol memberikan karcis dan uang kembalian.
Menurut dia, kata "terima kasih" merupakan "magic words" yang akan membuat
orang lain senang. Begitu juga kata "tolong" ketika kita meminta bantuan
orang lain, misalnya pembantu rumah tangga kita.

Dulu saya sering marah jika ada angkutan umum, misalnya bus, mikrolet,
bajaj, atau angkot seenaknya menyerobot mobil saya. Sampai suatu hari istri
saya mengingatkan bahwa saya harus berempati pada mereka. Para supir
kendaraan umum itu harus berjuang untuk mengejar setoran. "Sementara kamu
kan tidak mengejar setoran?'' Nasihat itu diperoleh istri saya dari sebuah
tulisan almarhum Romo Mangunwijaya. Sejak saat itu, jika ada kendaraan umum
yang menyerobot seenak udelnya, saya segera teringat nasihat istri tersebut.

Saya membayangkan, alangkah indahnya hidup kita jika kita dapat membuat
orang lain bahagia. Alangkah menyenangkannya jika kita bisa berempati pada
perasaan orang lain. Betapa bahagianya jika kita menyadari dengan membuang
sisa makanan kita di restoran cepat saji, kita sudah meringankan pekerjaan
pelayan restoran.

Begitu juga dengan tidak membuang karcis tol begitu saja setelah
membayar, kita sudah meringankan beban petugas kebersihan. Dengan tidak membuang
permen karet sembarangan, kita sudah menghindari orang dari perasaan
kesal karena sepatu atau celananya lengket kena permen karet.

Kita sering mengaku bangsa yang berbudaya tinggi tetapi berapa banyak di
antara kita yang ketika berada di tempat-tempat publik, ketika membuka
pintu, menahannya sebentar dan menoleh kebelakang untuk berjaga-jaga
apakah ada orang lain di belakang kita? Saya pribadi sering melihat orang yang
membuka pintu lalu melepaskannya begitu saja tanpa perduli orang di
belakangnya terbentur oleh pintu tersebut.

Jika kita mau, banyak hal kecil bisa kita lakukan. Hal yang tidak memberatkan kita tetapi besar artinya bagi orang lain. Mulailah dari hal-hal kecil-kecil. Mulailah dari diri Anda lebih dulu. Mulailah sekarang juga.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Thanks, andy noya memang oke..Saya salah satu penggemar acara KickAndy juga.....

Random Post

Widget edited by Nauraku

Arsip Komentar

Free Image Hosting


 

Top Post

SUARA MERDEKA CYBERNEWS

detikInet