Kekerasan di Sekolah, Dosa Siapa?

08 November 2008




Solidaritas adalah persekongkolan untuk menyembunyikan kebusukan, bahkan solidaritas sebagai upaya bersama saling melindungi ketidakjujuran (Kompas, 16/11). Begitulah pemikiran kritis St Kartono yang tertuang dalam "Ihwal Kekerasan di Sekolah" menanggapi masalah kekerasan di sekolah, khususnya kasus SMA 34, Pondok Labu, dan SMA Pangudi Luhur, Jakarta Selatan.

Sebenarnya tidak perlu heran dengan adanya mentalitas itu karena solidaritas sudah menjadi tren di kalangan masyarakat luas. Anak-anak belajar dari orang dewasa dan lingkungannya. Solidaritas negatif itu dapat dilihat dan dicontoh oleh anak-anak dalam perilaku solidaritas ngawur para pejabat dalam korupsi, kolusi dan nepotisme. Menjadi orang jujur akan hancur. Sangat ironis.

Tatkala solidaritas itu sudah merambah dunia pendidikan, dengan meminjam judul buku Andrias Harefa, ini merupakan "keberhasilan" besar anak-anak kita Menjadi Manusia Pembelajar. Bahkan dunia pendidikan kita layak mendapatkan penghargaan dari University of Chicago karena sudah menerapkan contextual teaching and learning (CTL), seperti halnya Elaine B Johnson. Solidaritas anak-anak sangat kontekstual dan berhubungan erat dengan solidaritas golongan pecundang bangsa. Satire itu hendaknya menggugah nurani kita.


Foto-Foto Kekerasan Di Sebuah Sekolah

Sekolah = pengadilan

Ketika anak-anak di sekolah berperilaku tidak sesuai dengan pola pikir orang dewasa, dengan mudahnya orang dewasa menuduh nakal. Ketika anak mendapat nilai jelek, dengan sinisnya orang dewasa mengatakan bodoh. Sangat mengerikan bukan? Belajar dari karya Dorothy Law Notle, jika anak hidup dalam suasana penuh kritik, ia akan belajar untuk menyalahkan.

Tatkala kenakalan atau kriminalitas anak-anak tampak nyata, sosok pribadi anak menjadi kambing hitam atas segala perilakunya. Dianggap tidak bermoral, bahkan dengan mantap menyerahkan kasus itu kepada yang berwajib. Seperti dalam tulisan St Kartono, pentingnya sanksi yang memiliki efek jera kepada anak yang melakukan kekerasan dengan mengembalikan mereka kepada orangtua atau menyerahkan kepada polisi.

Sekolah siap menjadi pengadilan. Celakanya, pengadilan sekolah itu hanya memproses akibat yang ditimbulkan dari suatu kasus, sedangkan mengapa (sebab) kasus itu bisa muncul tidak diadili. Anak didik menjadi korban kejamnya sistem peradilan pendidikan yang semu.

Jera semu

Joshua dalam film Ekskul mati mengenaskan dengan menembakkan pistol ke kepalanya. Joshua menjadi korban kekerasan kepala sekolah, guru, orangtua, dan teman. Inikah yang dimaksud dengan jera? Siswa lain akan jera kalau melakukan kenakalan. Permasalahan pokoknya adalah bukan masalah pembagian wilayah antara sekolah dan polisi atau aparat hukum.

Sebenarnya masalah pendampingan oleh pendidik dan orangtua terhadap anak-anak menjadi masalah penting. Para siswa butuh teman untuk bicara dan mencurahkan isi hatinya, bukan orang yang sok hebat dan menasihati terus-menerus yang seperti banyak orangtua dan guru lakukan. Saat anak-anak menjadi nakal, brutal, dan anarkis, bukan 100 persen kesalahan mereka, justru guru dan orangtua juga ambil peran besar di sana.

Sebenarnya kekerasan mental sudah dilakukan oleh guru dan orangtua kepada para siswa yang melakukan kekerasan dan yang ditimpa kekerasan itu. Segala perilaku kekerasan yang dilakukan para siswa merupakan cerminan dari pendampingan dan perhatian guru dan orangtua yang sangat rendah. Di sisi lain, penderitaan dan kesengsaraan para siswa yang dianiaya dan ditindas oleh teman-temannya merupakan cerminan ketidakpedulian dan kurangnya kepekaan guru dan orangtua akan nasib mereka. Siapkah aparat hukum untuk memprosesnya?

Pada akhirnya secara konsep saya sepakat dengan St Kartono bahwa yang mempunyai otoritas mendidik adalah guru, bukan sis- wa senior. Dan kepala sekolah berperan besar menghentikan tradisi kekerasan yang berlangsung di sekolahnya. Hanya bedanya, bukan siswa yang menjadi obyek dari konsep itu, tetapi kekerasan guru dan kepala sekolah itu sendiri, bahkan orangtua juga. Hendaknya mereka bisa mendidik dirinya sendiri dengan menyadari dan menghentikan kekerasan mental yang sudah mereka lakukan. Hentikan tradisi kekerasan guru, kepala sekolah, dan orangtua!

FX Aris Wahyu Prasetyo Mahasiswa Magister Instructional Leadership di Loyola University Chicago, Pengajar SMA Kolese Loyola Semarang

1 komentar:

Anonim mengatakan...

kekerasan dalam dunia pendidikan sudah ada sejak dulu... kalau mau menyalahkan siapa... gak bakal ketemu. semua saling berkaitan... Baca pengalaman pribadi saya di rahman4free.blogspot.com

Random Post

Widget edited by Nauraku

Arsip Komentar

Free Image Hosting


 

Top Post

SUARA MERDEKA CYBERNEWS

detikInet